Kala itu Hindia Belanda sudah mencapai kesempurnaan kekuasaan di
seluruh pelosok Nusantara. Dalam rangka untuk memperingati penobatan
Ratu Wilhelmina pada 31 Agustus 1898, Pemerintahan Gementee Batavia
mengadakan pesta berupa pasar malam besar untuk menghibur rakyat di
Koningsplein (Lapangan Monas Sekarang) yang saat itu juga dikenal
sebagai Lapangan Gambir.
Pasar malam gambir yang kemudian menjadi acara tahunan itu sukses
berat, dibanjiri oleh pengunjung, puncaknya pada tahun 1907 menurut buku
almanak Hindia Belanda keluaran 1921, diceritakan bahwa pada tahun 1907
banyak sekali panggung-panggung, ditengahnya ada ring tinju, lalu ada
kembang-kembang gula untuk anak-anak, ada lempar bola, ada olahraga
ketangkasan, dan banyak orang menjual baju-baju.
Pasar Malam Gambir juga menjadi ajang “mejeng” para pemuda-pemudi
tempo dulu. Mereka datang menggunakan bendi atau mobil ford T
berkeliling gambir pada sore hari. Kebanyakan dari mereka adalah
sinyo-sinyo Belanda atau pemuda keturunan Tionghoa yang kaya. Pada malam
hari diadakan pertunjukan lagu-lagu, Grup Tonil Miss Tjitjih juga
pernah tampil disini. Pasar malam gambir bubar saat pendudukan jepang di
pulau jawa pada tahun 1942.
Setelah merdeka, pada tahun 1968, saat itu Ali Sadikin (Gubernur DKI
kala itu), Djumatidjin dan Rio Tambunan naik Jeep keliling Monas untuk
inspeksi kebersihan monas, kemudian Ali Sadikin mempunyai ide agar
Pemerintah Djakarta ada pemasukan anggaran daerah sekaligus mengenalkan
Djakarta sebagai kota yang ramah terhadap bisnis dan kota hiburan. Ali
Sadikin menginginkan adanya semacam festival tahunan seperti di Perancis
dan Inggris. Lalu Djumatidjin asisten Ali Sadikin berkata “Bagaimana
kalau kita jadikan Monas sebagai ajang Djakarta Fair” Ali Sadikin senang
atas usulan itu.
Kemudian Ali Sadikin meminta pengusaha tekstil bernama Syamsudin
Mangan yang lebih dikenal dengan nama Haji Mangan, Ketua Kamar Dagang
dan Industri (Kadin) kala itu untuk mengadakan Djakarta Fair. Dengan
ide-ide dagang Syamsudin Mangan maka dibentuklah Djakarta Fair.
Djakarta Fair 1968 berlangsung mulus dan boleh dikatakan sukses.
Perhelatan akbar ini mampu menyedot pengunjung tidak kurang dari 1,4
juta orang. Sejak saat itulah Djakarta Fair menjadi bagian penting dalam
sejarah kota Jakarta. Saat diadakan Djakarta Fair 1969, Presiden
Amerika Serikat Richard Nixon sempat jalan-jalan ke area Djakarta Fair
1969.
Semenjak tahun 1992 Jakarta Fair dipindahkan dari Monas ke Kawasan
Kemayoran Jakarta Pusat yang menempati area seluas 44 hektar. Sejak saat
itu PRJ selalu digelar di Kemayoran dan dikelola oleh PT JIEXpo.
Kini keberadaan PRJ di Kemayoran kembali dipersoalkan. Jokowi,
Gubernur DKI menyebut bahwa PRJ akan kembali dipindahkan ke Monas
seperti sebelum tahun 1992. Jokowi menilai PRJ yang sekarang ini jauh
dari rakyat, PRJ hanya menonjolkan kepentingan bisnis dan mengejar
kepentingan komersialisme saja. Padahal, PRJ seharusnya bertujuan untuk
menghibur warga Jakarta.
Pernyataan Jokowi bukan isapan jempol belaka, Jumat lalu “PRJ
tandingan” di gelar di Monas bertajuk pameran Pekan Produk Kreatif
Daerah 2013 Provinsi DKI Jakarta. Pembukaan acara tersebut dilakuakn
oleh Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama di Monas,
Jakarta, Jumat (14/6).
Sumber : http://uniqpost.com/80631/sejarah-prj-dari-pasar-gambir-djakarta-fair-1969-sampai-prj-kemayoran/
Sumber : http://uniqpost.com/80631/sejarah-prj-dari-pasar-gambir-djakarta-fair-1969-sampai-prj-kemayoran/
0 komentar:
Posting Komentar