Pages

Selasa, 30 Oktober 2012





Perkelahian, atau yang sering disebut tawuran, sering terjadi di antara pelajar. Bahkan bukan “hanya” antar pelajar SMU, tapi juga sudah melanda sampai ke kampus-kampus. Ada yang mengatakan bahwa berkelahi adalah hal yang wajar pada remaja.

Di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan, tawuran ini sering terjadi. Data di Jakarta misalnya (Bimmas Polri Metro Jaya), tahun 1992 tercatat 157 kasus perkelahian pelajar. Tahun 1994 meningkat menjadi 183 kasus dengan menewaskan 10 pelajar, tahun 1995 terdapat 194 kasus dengan korban meninggal 13 pelajar dan 2 anggota masyarakat lain. Tahun 1998 ada 230 kasus yang menewaskan 15 pelajar serta 2 anggota Polri, dan tahun berikutnya korban meningkat dengan 37 korban tewas. Terlihat dari tahun ke tahun jumlah perkelahian dan korban cenderung meningkat. Bahkan sering tercatat dalam satu hari terdapat sampai tiga perkelahian di tiga tempat sekaligus.

DAMPAK PERKELAHIAN PELAJAR
Jelas bahwa perkelahian pelajar ini merugikan banyak pihak. Paling tidak ada empat kategori dampak negatif dari perkelahian pelajar. Pertama, pelajar (dan keluarganya) yang terlibat perkelahian sendiri jelas mengalami dampak negatif pertama bila mengalami cedera atau bahkan tewas. Kedua, rusaknya fasilitas umum seperti bus, halte dan fasilitas lainnya, serta fasilitas pribadi seperti kaca toko dan kendaraan. Ketiga, terganggunya proses belajar di sekolah. Terakhir, mungkin adalah yang paling dikhawatirkan para pendidik, adalah berkurangnya penghargaan siswa terhadap toleransi, perdamaian dan nilai-nilai hidup orang lain. Para pelajar itu belajar bahwa kekerasan adalah cara yang paling efektif untuk memecahkan masalah mereka, dan karenanya memilih untuk melakukan apa saja agar tujuannya tercapai. Akibat yang terakhir ini jelas memiliki konsekuensi jangka panjang terhadap kelangsungan hidup bermasyarakat di Indonesia.

PANDANGAN UMUM TERHADAP PENYEBAB PERKELAHIAN PELAJAR
Sering dituduhkan, pelajar yang berkelahi berasal dari sekolah kejuruan, berasal dari keluarga dengan ekonomi yang lemah. Data di Jakarta tidak mendukung hal ini. Dari 275 sekolah yang sering terlibat perkelahian, 77 di antaranya adalah sekolah menengah umum. Begitu juga dari tingkat ekonominya, yang menunjukkan ada sebagian pelajar yang sering berkelahi berasal dari keluarga mampu secara ekonomi. Tuduhan lain juga sering dialamatkan ke sekolah yang dirasa kurang memberikan pendidikan agama dan moral yang baik. Begitu juga pada keluarga yang dikatakan kurang harmonis dan sering tidak berada di rumah.

Padahal penyebab perkelahian pelajar tidaklah sesederhana itu. Terutama di kota besar, masalahnya sedemikian kompleks, meliputi faktor sosiologis, budaya, psikologis, juga kebijakan pendidikan dalam arti luas (kurikulum yang padat misalnya), serta kebijakan publik lainnya seperti angkutan umum dan tata kota.

Secara psikologis, perkelahian yang melibatkan pelajar usia remaja digolongkan sebagai salah satu bentuk kenakalan remaja (juvenile deliquency). Kenakalan remaja, dalam hal perkelahian, dapat digolongkan ke dalam 2 jenis delikuensi yaitu situasional dan sistematik. Pada delikuensi situasional, perkelahian terjadi karena adanya situasi yang “mengharuskan” mereka untuk berkelahi. Keharusan itu biasanya muncul akibat adanya kebutuhan untuk memecahkan masalah secara cepat. Sedangkan pada delikuensi sistematik, para remaja yang terlibat perkelahian itu berada di dalam suatu organisasi tertentu atau geng. Di sini ada aturan, norma dan kebiasaan tertentu yang harus diikuti angotanya, termasuk berkelahi. Sebagai anggota, mereka bangga kalau dapat melakukan apa yang diharapkan oleh kelompoknya.

Dalam pandangan psikologi, setiap perilaku merupakan interaksi antara kecenderungan di dalam diri individu (sering disebut kepribadian, walau tidak selalu tepat) dan kondisi eksternal. Begitu pula dalam hal perkelahian pelajar. Bila dijabarkan, terdapat sedikitnya 4 faktor psikologis mengapa seorang remaja terlibat perkelahian pelajar.

1. Faktor internal. Remaja yang terlibat perkelahian biasanya kurang mampu melakukan adaptasi pada situasi lingkungan yang kompleks. Kompleks di sini berarti adanya keanekaragaman pandangan, budaya, tingkat ekonomi, dan semua rangsang dari lingkungan yang makin lama makin beragam dan banyak. Situasi ini biasanya menimbulkan tekanan pada setiap orang. Tapi pada remaja yang terlibat perkelahian, mereka kurang mampu untuk mengatasi, apalagi memanfaatkan situasi itu untuk pengembangan dirinya. Mereka biasanya mudah putus asa, cepat melarikan diri dari masalah, menyalahkan orang / pihak lain pada setiap masalahnya, dan memilih menggunakan cara tersingkat untuk memecahkan masalah. Pada remaja yang sering berkelahi, ditemukan bahwa mereka mengalami konflik batin, mudah frustrasi, memiliki emosi yang labil, tidak peka terhadap perasaan orang lain, dan memiliki perasaan rendah diri yang kuat. Mereka biasanya sangat membutuhkan pengakuan.

2. Faktor keluarga. Rumah tangga yang dipenuhi kekerasan (entah antar orang tua atau pada anaknya) jelas berdampak pada anak. Anak, ketika meningkat remaja, belajar bahwa kekerasan adalah bagian dari dirinya, sehingga adalah hal yang wajar kalau ia melakukan kekerasan pula. Sebaliknya, orang tua yang terlalu melindungi anaknya, ketika remaja akan tumbuh sebagai individu yang tidak mandiri dan tidak berani mengembangkan identitasnya yang unik. Begitu bergabung dengan teman-temannya, ia akan menyerahkan dirnya secara total terhadap kelompoknya sebagai bagian dari identitas yang dibangunnya.

3. Faktor sekolah. Sekolah pertama-tama bukan dipandang sebagai lembaga yang harus mendidik siswanya menjadi sesuatu. Tetapi sekolah terlebih dahulu harus dinilai dari kualitas pengajarannya. Karena itu, lingkungan sekolah yang tidak merangsang siswanya untuk belajar (misalnya suasana kelas yang monoton, peraturan yang tidak relevan dengan pengajaran, tidak adanya fasilitas praktikum, dsb.) akan menyebabkan siswa lebih senang melakukan kegiatan di luar sekolah bersama teman-temannya. Baru setelah itu masalah pendidikan, di mana guru jelas memainkan peranan paling penting. Sayangnya guru lebih berperan sebagai penghukum dan pelaksana aturan, serta sebagai tokoh otoriter yang sebenarnya juga menggunakan cara kekerasan (walau dalam bentuk berbeda) dalam “mendidik” siswanya.

4. Faktor lingkungan. Lingkungan di antara rumah dan sekolah yang sehari-hari remaja alami, juga membawa dampak terhadap munculnya perkelahian. Misalnya lingkungan rumah yang sempit dan kumuh, dan anggota lingkungan yang berperilaku buruk (misalnya narkoba). Begitu pula sarana transportasi umum yang sering menomor-sekiankan pelajar. Juga lingkungan kota (bisa negara) yang penuh kekerasan. Semuanya itu dapat merangsang remaja untuk belajar sesuatu dari lingkungannya, dan kemudian reaksi emosional yang berkembang mendukung untuk munculnya perilaku berkelahi.

Kekerasan antar pelajar seharus dipahami  sebagai suatu masalah serius oleh semua pihak, guru, orang tua dan siswa (pelaku maupun korban) dan pihak terkait lainnya, karena kekerasan antar pelajar ini bersifat merusak baik korban maupun pelaku. Di Indonesia beberapa upaya pencegahan tindak kekerasan antar pelajar ini sebetulnya telah dilakukan oleh berbagai pihak, dari mulai sekolah itu sendiri, LSM, lembaga pemerintah juga lembaga internasional. 

Bentuk yang diselenggarakan biasanya berupa pelatihan dengan tema anti kekerasan. Seperti pelatihan juru kampanye anti tawuran yang dilakukan oleh LSM Komunitas Anti Kekerasan (KAK) terhadap pelajar pelaku tawuran dari berbagai sekolah di Jakarta, Bogor, Bekasi dan Depok. Pelatihan meliputi kegiatan dialog, diskusi dan pemutaran film. Pada akhirnya pelajar-pelajar yang mengikuti pelatihan tersebut diharapkan dapat berkampanye anti kekerasan di kalangan teman-temannya.
Pada tahun 2001 lalu lembaga internasional seperti UNICEF dan UNESCO juga telah melakukan pelatihan anti kekerasan dengan tema Membangun Budaya Damai dan Penyelesaian Konflik tanpa Kekerasan. Kegiatan pelatihan ini selain  melakukan dialog dan diskusi aktif patisipatif, juga menggunakan multimedia sebagai sarana pelatihan. Materi-materi disusun dan dibuat dalam modul khusus, berisi konsep life skill. Pelatihan ini diikuti oleh murid, orang tua dan guru sekolah, perkumpulan pemuda, Mahasiswa dan LSM, pernah juga dalam satu kesempatan melibatkan pejabat Departemen Pendidikan Nasional sebagai pesertanya. Tujuan yang ingin dicapai dari pelatihan ini adalah pelatih dan fasilitator (guru, orangtua dan siswa) memiliki pengetahuan tentang HAM, memiliki ketrampilan mengelola kelompok dan ketrampilan melakukan pendidikan partisipatif tentang perdamaian.

Pemerintah sendiri sejauh ini telah menetapkan berbagai UU dan peraturan dalam mengatur masalah kesejahteraan anak. Sedangkan bagi anak yang terlibat tindak kekerasan kriminal juga dikenakan hukuman. Departemen pendidikan nasional mengeluarkan keputusan menteri tentang jumlah jam belajar efektif untuk menghindari pemanfaatan waktu luang oleh siswa untuk kegiatan-kegiatan yang merugikan seperti tawuran. Beberapa sekolah sejauh ini memberikan hukuman kepada siswa yang terlibat tawuran dari mulai memberi pengarahan, penyuluhan sampai dikeluarkan dari sekolah, meskipun tindakan terakhir ini keefektifannya masih pro dan kontra.
Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya tawuran, antara lain membuat perjanjian yang harus dipahami oleh pihak-pihak terkait, diantaranya:
  1. Tawuran harus dilihat sebagai suatu masalah oleh semua pihak: guru, orangtua dan murid baik korban,pelaku, maupun murid lain yang tidak terlibat (silent majority)
  2. Sekolah harus mengambil tindakan untuk mencegah terjadinya tawuran. Pendekatan preventif mencakup diantaranya mengetengahkan topic tawuran ini kepada murid dan orangtuanya, dan kemudian menerapkan peraturan.
  3. Jika tindakan preventif kurang dan tawuran muncul, guru harus bisa menangkap situasi tersebut dan mengambil sikap jernih untuk mengatasinya.
  4. Tawuran harus dinyatakan sebagai sesuatu yang jelas
  5. Jika berbagai cara untuk menekan tawuran ini masih kurang, dan tawuran muncul lagi, maka sekolah harus memiliki pendekatan langsung (kuratif) untuk mengatasinya.
  6. Jika sekolah atau seorang guru menolak untuk mengatasi masalah tersebut, atau jika masalah diselesaikan dengan cara yang salah, atau cara yang dilakukan tidak memberikan dampak apapun, maka seorang konselor harus didatangkan. Atas permintaan orantua dari anak yang menjadi korban, konselor ini harus menyampaikan keluhan tersebut kepada Dewan Pengaduan (Complaints Committee) yang akan menyelidiki masalah dan memberikan saran kepada pihak-pihak berwenang untuk menilai tindakan apa yang akan dilakukan.
sumber
sumber

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright (c) 2010 PIPIT's Blog. Design by Wordpress Themes.

Themes Lovers, Download Blogger Templates And Blogger Templates.