Mendidik karakter adalah bahasan unik, mengapa
unik? Karena bahasan ini bisa “lari” kemana-mana bila kita membahas tentang
manusia. Dan masalah tentang manusia adalah pekerjaan yang tidak ada habisnya,
dari manusia lahir hingga meninggal banyak kejadian ajaib serta memalukan
terjadi dalam kehidupannya.
Manusia adalah faktor penting dalam menciptakan
kehidupan yang baik. Kehidupan yang baik dan sejahtera itu dapat dibentuk dan
diciptakan.
Indonesia memiliki nenek moyang yang ramah tamah
dan sangat santun dalam berelasi dengan sesama dan kehidupan kesehariannya.
Tetapi mengapa hingga ke belakang (saat ini), nilai itu pudar semua? Australia, suku asli Aborigin, mereka
jauh tidak beradap dan jauh lebih brutal dari nenek moyang kita, tetapi kini
mereka masuk dalam kategori negara yang sangat teratur dan tingkat kehidupan
yang cenderung makmur. Ungkap seorang kawan yang bercerita kepada saya.
Teringat juga saya ketika rekan saya lebih tepatnya dosen pembimbing skripsi
saya saat pulang dari Australia dan kita bertemu di tahun 2012. Dia bercerita,
saat terjadi banjir yang melumpuhkan Brisbane, dosen saya termasuk orang yang
beruntung karena dia tinggal di flat yang agak tinggi dan tidak perlu
mengungsi. “Orang disana tidak egois, rumah yang masih ada penghuninya saling
di datangi, entah mereka kenal apa tidak. Mereka ketok setiap pintu mereka
tawarkan bahan makan dan selimut, bertanya apa yang kita butuhkan, mereka
saling berbagi dengan mudahnya dan ikhlas”, “apakah itu petugas khusus
penanganan bencana yang datang kerumah anda?” tanya saya, “bukan, itu adalah
tetangga–tetangga saya yang senasib dengan saya, dan mereka tidak tinggal di
pengungsian” merinding saya dengar cerita tersebut. Bagaimana mereka dapat
hidup berdampingan seperti itu dan memperlakukan orang lain yang bukan asli
Australia seperti itu, tanpa pamrih.
Seandainya kita bisa berlaku seperti negara
tetangga kita, indahnya hidup dan kebersamaan ini. Hingga akhirnya saya
diberi tahu suatu fakta yang membuat otak saya “kram” sesaat. Ternyata untuk
mendidik dan menanamkan sikap seperti di negara tetangga kita itu butuh waktu
minimal 16 tahun, secara kontinyu dan konsisten. Dan untuk mendidik anak baca
dan tulis serta berhitung tidak lebih dari 6 bulan. Orangtua di Australia,
tidak pusing jika anaknya belum bisa baca tulis, karena itu akan dikuasai dalam
6 bulan ke depan, tetapi sikap disiplin dan pembentukan karakter diterapkan sedini
mungkin, mereka tahu itu lebih penting dari sekedar baca tulis diusia 3 -5
tahun.
Dalam psikologi perkembangan, selalu ada debat
tentang masalah-masalah nature dan nurture. Artinya, para
ahli senantiasa memiliki pendapat yang berbeda tentang apakah aspek-aspek
pertumbuhan dan perkembangan manusia itu dibawa sejak lahir atau terbentuk dari
lingkungan, mana yang lebih banyak mempengaruhi seorang individu, dan
pertanyaan-pertanyaan serupa. Begitu pula halnya dengan perkembangan moral atau
karakter seseorang, apakah karakter itu merupakan sesuatu yang bersifat
herediter (bawaan lahir/keturunan) ataukah dapat dibentuk melalui didikan
lingkungan. Perdebatan tersebut tidak pernah selesai dan mungkin tidak akan
pernah mendapatkan jawaban pasti. Satu hal yang jelas bahwa memang ada
interaksi antara aspek nature dan nurture dalam perkembangan
karakter individu, yang dibuktikan dengan penelitian-penelitian yang dilakukan
oleh para ahli.
Faktor determinan karakter dapat berupa biologis/
herediter. Penelitian-penelitian untuk mengungkap pengaruh ini biasanya
dilakukan pada subjek anak kembar dan adopsi serta bersifat longitudinal.
Beberapa ahli telah membuktikan adanya pengaruh genetis yang cukup kuat
terhadap karakter anak. Beberapa dimensi karakter seperti empati dan simpati juga
banyak diamati melalui perspektif neurosains yang lebih mengarah kepada
heredite.
Di sisi lain, lingkungan keluarga membawa
pengaruh yang cukup penting bagi pembentukan karakter anak. Kochanska, dkk.
(2004) menyatakan bahwa kelekatan antara orangtua dan anak merupakan aspek yang
sangat penting bagi awal perkembangan moral anak. Untuk selanjutnya, pengasuhan
orangtua secara menyeluruh, meliputi relasi antara orangtua dan anak yang
hangat dan responsif disertai penerimaan, dukungan, serta pemahaman akan
membawa dampak terhadap karakter anak . Di samping itu, pola disiplin yang
diterapkan orangtua juga merupakan hal yang penting .
Dalam hal ini, disiplin akan mengontrol perilaku anak dan biasanya dikaitkan
dengan konsekuensi negatif terhadap perilaku pelanggaran. Aspek yang paling
penting dari penegakkan disiplin tersebut adalah konsekuensi yang logis terkait
dengan pelanggaran yang dilakukan. Bahwa disiplin yang menekankan pada penalaran dan logika
akan mempercepat terjadinya internalisasi nilai-nilai pada anak.
Sekolah, sebagai lingkungan kedua, turut
mempengaruhi konsep diri, keterampilan sosial, nilai, kematangan penalaran
moral, perilaku prososial, pengetahuan tentang moralitas, dan sebagainya. Adanya ikatan yang kuat dengan sekolah dan komunitasnya,
termasuk juga kelekatan dengan guru, merupakan dasar bagi perkembangan
prososial dan moral anak. Hawkins, dkk. (2001) menyatakan bahwa seorang anak
akan menerapkan sebuah standar atau norma bila standar tersebut jelas dan
disertai dengan adanya ikatan emosi, komitmen, dan kelekatan dengan sekolah.
Dalam hal ini, sekolah perlu memiliki atmosfir moral dalam rangka meningkatkan
tanggung jawab dan mengurangi pelanggaran di sekolah (Brugman, dkk., 2003). Di
lingkungan sekolah, tentu saja anak mengalami perluasan aktivitas. Relasi
dengan teman sebaya pun akan membawa dampak terhadap pembentukan karakter anak.
Hubungan emosi yang kuat dan aktivitas bermain merupakan mediator bagi anak
untuk mengembangkan karakter merek.
Tidak kalah pentingnya adalah pengaruh komunitas
terhadap karakter anak-anak dan remaja. Televisi, sebagai salah satu bentuk
media massa di dalam masyarakat, memberikan fasilitas peniruan melalui
program-programnya. Pada umumnya, anak-anak dan remaja akan lebih mudah
menerima informasi yang dilihat dan didengar. Anak dan remaja disajikan pada gambaran
situasi tertentu yang disertai dengan reaksi yang seharusnya dilakukan, dan
juga akibat dari reaksi tersebut. Apabila anak dan remaja terus-menerus melihat
adegan-adegan negatif, maka mereka akan menganggap adegan tersebut sebagai
sesuatu yang wajar. Jika hal ini terus berlanjut, anak dan remaja akan
melakukan adegan yang serupa. Dampak proses imitasi ini telah banyak diteliti,
dalam kaitannya dengan perilaku-perilaku tertentu seperti agresi dan kekerasan. Di sisi lain, televisi juga
membentuk karakter positif anak, yaitu dalam hal perilaku prososial dan altruis
(Mares & Woodard, 2005). Hal ini menunjukkan bahwa lingkungan sosial
mempunyai andil dalam pembentukan moral dan karakter anak dan remaja. Berdasarkan
uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pembentukan karakter moral seseorang
akan dipengaruhi oleh interaksi antara bawaan yang bersifat herediter dengan
faktor-faktor yang ada di lingkungan.
Langkah Praktis Membangun Karakter Terdiri Dari :
a.Memberi ruang kepercayaaan pada diri bahwa karakter yang tidak baik bisa diubah menjadi karakter
yang baik.
b.Memiliki keinginan yang menyala-nyala untuk mempunyai karakter yang baik.
c.Belajardarihal-hal yang kecil.
d.Berlatih terus-menerus sampai menjadi kehidupan sehari-hari.
e.Milikilah hati yang siap untuk dibentuk dan diubah.
b.Memiliki keinginan yang menyala-nyala untuk mempunyai karakter yang baik.
c.Belajardarihal-hal yang kecil.
d.Berlatih terus-menerus sampai menjadi kehidupan sehari-hari.
e.Milikilah hati yang siap untuk dibentuk dan diubah.
Hal Dasar Dalam Membangun
Karakter:
1.Selalu berpikir yang positif,baik dan
membangun.
2.Selalalu melakukan segala sesuatu dengan
sungguh sungguh tanpa sungut sungut
3.Tidak membuka cela untuk bicara atau
mendengar hal hal yang negatif.
4.Mencari mentor yang tepat
5.Selalu bertanya dan berbagi jika ada
persoalan.
6.Berani mengakui kesalahan dan mau
berubah.
7.Harus menyelesaikan setiap persoalan yang
masih mengganjal dihati.
4.Tipe Karakter:
1.Tau & Mau
2.Tau & Tidak Mau
3.Tidak Tau & Mau
4.Tidak Tau & Tidak
Mau.
Cara Mendidik dan Menumbuhkan
Karakter:
1.Ubah Lingkungannya, melakukan pendidikan karakter dengan cara menata
peraturan serta konsekuensi di lingkungan sekitar dan dirumah.
2.Berikan Pengetahuan, memberikan pengetahuan
bagaimana melakukan perilaku yang diharapakan untuk muncul dalam kesehariannya
serta diaplikasikan.
3.Kondisikan Emosinya, emosi manusia adalah kendali 88% dalam kehidupan manusia. Jika
mampu menyentuh emosinya dan memberikan informasi yang tepat maka informasi
tersebut akan menetap dalam hidupnya.
Peranan Sekolah Dalam Pembangunan Manusia
Berkarakter Moral
Peranan pendidikan berkarakter moral di sekolah
pernah dilakukan oleh Berkowitz & Bier (2003). Mereka menyatakan bahwa
penerapan pendidikan berkarakter moral mempengaruhi peningkatan motivasi siswa
dalam meraih prestasi. Bahkan kelas-kelas yang secara komprehensif terlibat
dalam pendidikan karakter menunjukan penurunan drastis pada perilaku negatif
siswa yang dapat menghambat keberhasilan akademik. Hal ini disebabkan salah
satu tujuan pendidikan karakter adalah untuk pengembangan kepribadian yang
berintegritas terhadap nilai atau aturan yang ada. Ketika individu mempunyai
integritas maka ia akan memiliki keyakinan terhadap potensi diri (self
efficacy) untuk menghadapi hambatan dalam belajar.
Beberapa tema-tema moral yang berhubungan dengan
kognitif ditemukan dalam penelitian Narvaes (2006). Peserta didik yang
mendapatkan pendidikan berkarakter moral akan lebih; (a). Mudah memahami
situasi moral secara akurat dan menegakkan aturan atau nilai yang
diinternalisasi, (b). Mempunyai alat atau metode untuk memecahkan masalah moral
yang kompleks, (c). Tetap berfokus terhadap tugas-tugas akademis dan
termotivasi untuk mengatasi hambatan dalam pembelajaran, (d). Mampu
memprioritaskan tujuan-tujuan etis untuk pengembangan diri dan pemberdayaan
sosial. Oleh karena itu, negara-negara maju turut menekankan pendidikan
berkarakter moral tersebut sebagai soft-skill yang mengikuti
kompetensi pembelajaran. Dengan demikian, lulusan dunia pendidikan akan lebih
siap berkompetisi dalam era global saat ini.
Meskipun sekolah merupakan lingkungan kedua bagi
peserta didik dalam pembentukan karakter namun sekolah merupakan komunitas
untuk melakukan sharing nilai dengan guru, teman sebaya dan sivitas
akademika. Apalagi, fenomena kurikulum sekarang yang sarat beban bagi peserta
didik menyebabkan ia tinggal lebih lama di sekolah daripada di lingkungan
keluarga dan masyarakat. Oleh karena itu, pemakalah memberikan usulan terhadap
peran sekolah dalam membangun manusia yang berkarakter moral sebagai berikut:
1. Menyediakan pendidikan moral agama yang
berbasis penyikapan terhadap kasus/ fenomena. Dalam hal ini tentunya
agama tidak saja disajikan dalam pengetahuan aturan atau tata laksana ibadah
(syari’at) tetapi lebih kepada nilai-nilai agama dalam menghadapi fenomena
sosial. Nilai-nilai agama inilah yang menjadi bagian dari pembentukan karakter
moral peserta didik. Sebagai contoh, pendidikan agama Islam tidak hanya
mengajarkan syari’at sholat saja tapi nilai-nilai manfaat yang diperoleh bagi
manusia itu sendiri dengan menjalankan sholat. Begitu pula agama Kristen
Protestan tidak hanya mengajarkan cara bersembahyang tetapi bagaimana
menerapkan Etika Protestan untuk keseimbangan kehidupan dunia dan akhirat. Juga
The Golden Role dalam ajaran agama Katholik agar manusia menyebarkan
kebaikan kepada sesamanya. Sebenarnya beberapa ahli pemikir Barat membedakan
antara moral dengan nilai-nilai agama. Akan tetapi, pemakalah mempunyai
pendirian bahwa nilai agama membentuk karakter moral karena nilai agama yang
universal juga mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan, hubungan manusia
dengan dirinya sendiri (intrapersonal) dan hubungan manusia dengan lingkungan
sosialnya (interpersonal). Tidak ada agama yang tidak mengatur ketiga hal
tersebut. Bahkan secara tegas, Silberman (2005) menyatakan bahwa ciri manusia
yang religius adalah:
(a). Mampu memahami Tuhan dan melaksanakan semua
ajaranNya. Pada elemen ini, manusia yang beragama dituntut untuk memahami
kekuatan Tuhan dan mengamalkan semua ajaranNya dalam kehidupan sehari-hari.
(b). Memahami pemaknaan diri. Pada elemen ini,
manusia yang mengaku beragama harus memiliki pemahaman terhadap hakikat diri,
tujuan hidup, potensi diri dan pengaruh ajaran agama terhadap proses
pembentukan jati diri. Misalnya, sebagai seorang Muslim maka ia tahu bahwa
tujuan hidupnya hanyalah untuk berbakti kepada Allah SWT, mempunyai potensi
persaudaraan sebagai sesama muslim dan ajaran Islam dijadikannya sebagai
identitas dirinya.
(c). Meyakini dan memelihara hubungan dengan
mahluk lain ciptaan Tuhan dan alam semesta. Sebagai manusia yang beragama maka
kita dituntut untuk membina hubungan dengan orang lain, mahluk ghaib dan alam
semesta.
(d). Keyakinan terhadap hari depan, yaitu
keyakinan yang harus dimiliki oleh manusia religius terhadap kehidupan masa
depan, kehidupan setelah kehidupan di dunia, seperti kematian, alam kubur, hari
berbangkit atau kiamat, syurga dan neraka. Oleh karena itu, manusia yang
religius menjadikan kehidupan di dunia ini sebagai investasi dalam kehidupan di
masa mendatang, termasuk kehidupan akhirat kelak.
Berdasarkan ciri manusia yang religius atau
mempunyai nilai-nilai agama tersebut maka sebenarnya sama dengan tujuan
pendidikan berkarakter moral yang mengembangkan interpersonal dan
intrapersonal. Dengan demikian, pendidikan moral agama lebih ditekankan kepada
kasus-kasus atau fenomena yang harus dipecahkan oleh peserta didik berdasarkan
pertimbangan nilai atau moral agama. Hal ini yang disebut sebagai pembelajaran
berbasis masalah (problem based learning).
2. Menyiapkan guru, kakak kelas, sivitas
akademika, alumni sebagai role model. Sebagaimana definisi
pendidikan berkarakter moral sebagai proses transfer, khususnya tindakan
terhadap fenomena berdasarkan nilai atau aturan universal maka dibutuhkan figur
teladan dalam menegakkan nilai atau aturan tersebut. Figur teladan ini sesuai
dengan filosofi pendidik yang dikemukakan oleh Ki Hadjar Dewantara, yaitu ing
ngarso sung tulodho (seorang guru harus mampu memberikan keteladanan sikap
dan tindakan), khususnya keteladanan moral. Apalagi, guru merupakan sosok digugu
lan ditiru (dipatuhi dan dicontoh tindakannya). Jika guru hanya
memberikan pengajaran moral tanpa mendidik (memberi keteladanan moral) maka
akan terjadi kebingungan pada diri peserta didik. Sosok guru yang ideal ialah
guru yang bermoral. Ketika guru melakukan tindakan amoral, seperti pelecahan
seksual, kekerasan, tindak pidana dan lain sebagainya maka fenomena ini disebut
sebagai moral hypocrisy, yaitu sosok yang idealnya bermoral namun
melakukan tindakan tidak bermoral. Tidak hanya guru, kakak kelas dan alumni pun
sebagai figur teladan dalam penegakan moral. Jika kakak kelas dan alumni
berkomitmen untuk membantu penegakan moral di lingkungan sekolah maka aktivitas
yang tidak bermoral, seperti kekerasan dalam masa orientasi dan tawuran dapat
diminimalisasi.
3. Menyediakan perangkat nilai dan aturan
yang jelas, rasional dan konsisten. Sekolah yang mempunyai aturan
jelas menyebabkan tidak ada ambiguitas peserta didik dalam memahaminya. Aturan
yang jelas juga dimaksudkan agar peserta didik tidak mencari celah kelemahan
aturan dan memanfaatkan celah tersebut untuk pelanggaran. Selain itu, yang
dimaksudkan dengan aturan atau nilai yang rasional ialah segala aturan tersebut
bukan saja bertujuan untuk mengarahkan atau melarang suatu tindakan tetapi
lebih kepada penguatan alasan mengapa aturan atau nilai tersebut ditegakkan.
Tentunya hal ini membutuhkan sosialisasi kepada peserta didik dan sivitas
akademika agar memahami latar belakang ditegakkannya nilai atau aturan
tersebut. Rasionalitas atau alasan tentang penegakan nilai moral tersebut perlu
dilakukan karena dalam psikologi perkembangan, seorang remaja mulai berfikir
operasional kongkret yang mencari rasional dalam setiap tindakan. Dengan
pemahaman nilai atau aturan yang rasional tersebut maka peserta didik akan
menjalankan aturan dan nilai tersebut karena terdorong untuk kebaikan mereka
sendiri. Hal ini menandakan aturan atau nilai yang rasional/ mempunyai alasan
yang tepat akan menumbuhkan motivasi intrinsik atau motivasi dalam diri.
Sedangkan penegakan nilai atau aturan yang konsisten untuk semua pihak
diharapkan akan menjadi perangkat aturan untuk kepentingan bersama (keadilan
distributif).
4. Membangun sinergitas antara pihak
sekolah, keluarga, masyarakat dan pemerintah. Sebagaimana kita ketahui
kebijakan publik tidak dapat dijalankan jika tidak ada sinergi antara pihak
terkait. Meskipun sekolah telah menerapkan pendidikan berkarakter moral di
lingkungan belajar namun hal ini tidak akan efektif jika tidak didukung
keterlibatan pihak keluarga, masyarakat dan pemerintah. Jika kita kembali
merujuk definisi pendidikan berkarakter moral maka pendidikan tersebut
sesungguhnya merupakan suatu PROSES. Maknanya, pendidikan berkarakter moral
merupakan transfer secara bertahap dan berkelanjutan. Sayangnya, kebijakan
pemerintah tentang ujian nasional (UNAS) mempunyai dampak bahwa pendidikan
lebih menekankan kepada hasil suatu sistem dan bukan kepada proses. Padahal
sebenarnya pendidikan lebih menekankan kepada proses suatu sistem. Oleh karena
itu, disarankan agar pemerintah tidak membuat suatu kebijakan yang bertentangan
dengan filosofi pendidikan berkarakter moral.
5. Pendidikan berkarakter moral
dimasukkan dalam kegiatan intra, ekstra dan ko-kulikuler sebagai hidden
curriculum. Dalam kegiatan intra-kurikuler dan
ko-kurikuler, setiap mata pelajaran perlu memberikan pesan moral khusus
berkaitan dengan topik pembelajaran. Contohnya, pelajaran Biologi tentang
reproduksi manusia perlu diberikan sosialisasi tentang dampak negatif seks
pra-nikah jika organ reproduksi belum siap digunakan. Jadi, tidak sekedar
pengetahuan seks tetapi juga menyisipkan pesan moral yang rasional.
Begitu pula, dalam kegiatan ekstra-kurikuler perlu diperbanyak aktivitas yang
membina karakter moral peserta didik, seperti Pramuka, PMR, Dokter Kecil, Olah
Raga dan lain sebagainya. Bahkan ide untuk mendirikan dan melestarikan “Kantin
Kejujuran” perlu diwujudkan.
6. Menyajikan story telling melalui
multi media dengan melibatkan peran sebagai role model karakter moral.
Menurut Sheldon (2004), story telling adalah salah satu metode yang
tepat untuk menyampaikan pesan moral melalui peran tokoh-tokoh dalam suatu
cerita sebagai role model. Dengan demikian, story telling memiliki
kemampuan untuk menyampaikan nilai-nilai moral karena anak dan remaja lebih
mudah menerima informasi melalui audio-visual. Oleh karena itu, disarankan story
telling disajikan dalam multi media sehingga menarik keterlibatan afeksi
dan kognisi peserta didik dalam menginternalisasi nilai moral yang disampaikan.
Sebagai contoh, story telling dengan tema budaya lokal, seperti Malin
Kundang disampaikan melalui tayangan film atau parodi sehingga pesan moral
tentang berbakti kepada orang tua lebih efektif disampaikan kepada peserta
didik.
1.Joseph Murphy D.R.S., Rahasia
Kekuatan Pikiran Bawah Sadar, (SPEKTRUM, 2002),
2.Budimansyah, D. (2007). “PendidikanDemokrasiSebagaiKonteks Civic Education
di Negara-negaraBerkembang”,( JurnalActaCivicus,
Vol.1)
3.Rangkuman materi
pengajaran RDP.
0 komentar:
Posting Komentar